Sip! Sedikit lagi selesai.
Hendra menatap empat buah laporan untuk rapat pengurus mushola siang nanti yang hampir ia selesaikan. Subhanallah, akhirnya selesai juga dalam waktu semalam. Pikirnya sambil merapikan sisa lembaran yang belum ia cek.
Ini kedua kalinya ia menjabat sebagai ketua acara untuk kegiatan rohis di kampusnya, MIPA UI. Sebagai aktivis dakwah kampus, kegiatan ini sudah ia geluti semenjak tercatat sebagai mahasiswa fisika program S1.
Menurutnya, sayang sekali memiliki potensi diri yang besar jika tidak dimanfaatkan di jalan Allah. Motto ‘hidup mulia atau mati syahid’ tak pernah lepas dari prinsipnya yang seteguh Grand Canyon di Amerika sana. Imam Hasan Al Bana adalah figur yang dikaguminya setelah Rasulullah SAW. Pantas jika ia dijuluki ‘ikhwan’ oleh teman-temannya. Ditambah jenggot yang melambai di bawah dagu, lengkaplah sudah.
Apa lagi ya yang kurang?! Oh, lupa! Catatan rancangan anggaran pengeluaran untuk kajian di Puncak belum aku cantumkan. ya…ya, sekalian nama-nama pembicaranya yang akan mengisi besok. Gumam Hendra. Eh, kenapa tidak Devi saja yang membuatkannya? Biar ada kerjaan sedikit. Cengir Hendra nakal.
Tiba-tiba sebuah panggilan mengusik kesibukannya. “Hendra…! Teman kamu telpon nih…!” Ibunya memanggil.
“Bukan, ini Yanti!” jawab orang di ujung sana.
“Eh…Yanti, maaf. Aku pikir Temy. Ada apa Yanti?”
“Ah, nggak. Kamu hari ini ke kampus? Kalau berangkat, bareng aku dong. Sekalian cariin bengkel yang bagus. Hari ini Mama suruh aku tune up mobil Papa. Tolongin aku, ya!” rayu Yanti.
“Ng…maaf ya. Aku nggak bisa temani kamu, kamu tahu kaaan! Lagi pula, dekat kampus, jalan arah ke Depok kan banyak bengkel bagus, kamu bisa coba salah satunya. Kalau Mira, gimana? Mungkin dia bisa,” Jawab Hendra menghindar.
“Uh,…pasti deh kamu nggak mau nolongin aku. Iya, deh! Karena aku bukan akhwat, kan! Sombong!” gerutu Yanti. Klik! Tiba-tiba ia menutup telpon.
Yanti adalah tetangganya dan juga teman satu SMU di 47 dulu. Sekarang, ia satu fakultas dengannya, hanya saja Yanti mengambil jurusan Kimia. Jarak antar rumah mereka terpisah satu Rt. keluarga Yanti termasuk terkaya di daerah itu. Ayahnya seorang pejabat tinggi di salah satu instansi pemerintah yang ‘basah’. Dua sedan dan satu Land Cruiser Turbo terpajang di garasi depan rumahnya.
Hari ini ia harus berangkat lebih pagi karena hari pertama anak-anak sekolah masuk setelah libur cawu berakhir. Buru-buru ia merapikan berkas-berkas laporan serta buku-buku untuk kuliah. Dan… mandi.
“Hendra…! Kamu nggak makan dulu?!” Ibunya memanggil dari dapur.
“Nggak ah, Bu! Hendra makan di kampus saja. Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumussalam! ”
Jam dua siang suasana musholla Izzatul sudah mulai lengang. Hanya ada beberapa ikhwan yang sedang sibuk dengan tugas kuliahnya duduk di pelataran depan mushola. Di depan pintu sekretariat mushola, Sabar tergeletak pulas bersama mimpinya.
Ruang sekretariat tidak luas, kira-kira dua kali tiga meter. Di lantai terhampar karpet merah agak kehitam-hitaman yang entah kapan terakhir kalinya dicuci. Perabotan milik mushola tergeletak berantakan di lantai dengan posisi menepi ke dinding. Beberapa rak menempel di dinding sebelah kanan dekat pintu berisi berkas-berkas dan buku-buku yang diletakkan sekenanya saja.
Saat itu, di tengah-tengah ruang sekretariat, Hendra dan Temy, ikhwan Farmasi, sedang duduk santai membicarakan sesuatu. “antum serius sudah siap?! Ane tanya beneran nih! Soalnya, sudah ada akhwat yang siap! Kalau antum serius nanti ane kasih biodatanya, gimana?! ” ujar Temy menyelidik. “Eh…, jawab dong! Jangan cuma senyum saja!”
“He…he…he…sorry. Habis antumnya tenang-tenang saja, sih! Padahal, ane sendiri sudah gugup kayak begini, he…he…he. Alhamdulillah, akhirnya ada juga yang menjadi pendahulu kita-kita,” ujar Temy kagum.
“Eh, Tem! Ng…, ngomong-ngomong… akhwatnya angkatan berapa?” tanya Hendra malu-malu sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Hi…hi…hi, sembilan-sembilan, Hen!” jawab Temy centil.
“Wah! Cocok dong, kalau begitu!”
“Ehem, hayo…! lagi ngomongin apa yah!” tiba-tiba Dodi muncul di pintu sekretariat. “Sen, kamu di cariin Bu Jarwani tuh! Katanya laporan TA kamu sudah di-ACC,”
“Oh, ya! Thank’s, Dod! Eh, Tem. Ane cabut dulu. Pembicaraannya kita lanjutin besok saja. Tapi…, untuk yang tadi, antum atur saja gimana baiknya. Insya Allah malam ini juga ane akan istikhoroh, OK! Assalamu’alaikum!” ujar Hendra bergegas.
Hendra meninggalkan mushola dengan wajah berseri dan hati berbunga. Laporan TA-nya sudah disetujui. Artinya, ia dapat maju sidang sarjana semester ini dan dan insya Allah sebentar lagi….
Siang tadi, sehabis sholat duhur, Yanti minta ketemu di ruang baca perpustakaan lantai atas, di meja dekat rak-rak skripsi, yang jam-jam itu sepi pengunjung. Semula Hendra menolak dengan alasan ikhtilat, tetapi Yanti memaksa. Katanya ada hal yang sangat penting yang harus dibicarakan.
Di tempat itu, sambil terisak, Yanti mencurahkan isi hatinya pada Hendra. “Hen…, kamu tega sama aku, nggak pernah perhatian. Padahal… aku ingin sekali seperti akhwat. Yang ngerti agama, yang bisa mengaji, dan memakai jilbab. Kamu tidak adil, tidak pernah memberi kesempatan padaku untuk melakukan itu.
Yanti, maafkan aku. aku kan meminta tolong Nila untuk mendekati dan membimbing dia. Semoga Allah membukakan hidayah untuknya dalam mencari cinta yang lebih tinggi. Lirihnya. Tak lama kemudian, Hendra mulai sibuk berkutat dengan berkas-berkas kegiatan ROHIS.
“Wah…! kenapa bisa begitu…?!” ujar Hendra tersentak.
“Iya, Hen! Si Lutfie mobilnya masuk bengkel gara-gara mogok waktu dipakai survey tempat. Si Moer, kijangnya sedang di pinjam Om-nya buat piknik ke Anyer. Si Rudi…, Ah! Dia tuh alergi sama acara-acara ROHIS. Kemarin dia mencak-mencak tahu mobilnya mau ane pinjam untuk acara kita,” ujar Irfan bingung.
“kalau akhwatnya, gimana? Kan acara kemarin kita pakai mobilnya Devina. Coba, deh...!”
“Udah, Hen…! Ane tadi udah tanya Devina. Katanya, mobilnya mau dipakai orangtuanya untuk acara keluarga. Makanya Devina nggak bisa ikut kita ke Puncak, besok,”
“Gimana ya?” ujar Hendra sambil memutar otak. Acara tinggal sehari lagi tapi transportasi untuk menjemput pembicara belum juga ada. Nggak mungkin bawa pembicara pakai Vespa jarak Depok-puncak. Wah…bisa-bisa masuk angin semua sesampainya di tempat.
Lirihnya dalam hati. Ah…iya! Tapi…? Kenapa nggak dicoba dulu sekalian mengajak dia ikutan pesantren kilat! Tiba-tiba Hendra menemukan jalan keluarnya. “Fan! kayaknya ane bisa bantu. Tapi ane mesti menghubungi orangnya dulu. Nanti sore kita ketemu lagi di mushola, ya!”
“Alhamdulillah. Oke, deh! Kalau begitu Ane mau kasih tahu yang lainnya. Assalamu’alaikum!”.
“Wa’alaikumussalam,” sambut Hendra.
Agak tergesa, Yanti menghampiri Hendra yang sibuk merapihkan barang. “Hen, tadi mamaku telpon. Mama bilang, aku harus jemput mama di Ciawi sekarang juga. Temani aku dong! Kamu kan sudah janji. Ayo, cepetan! Nanti aku diomeli mama,” desak Yanti.
“Ngh…, sebentar. Hasan, antum ganti’in ane ya. Eh, nanti kalau Yoga datang, bilang ane cabut duluan. Mau ngembali’in mobil!”
“Oke! nanti ane sampe’in,” jawab Hasan.
Sambil menenteng ransel Hendra mengejar Yanti yang sudah lebih dulu ke mobil.
Starlet biru metalik keluaran tahun 95 akhir melaju kencang meninggalkan Mega Mendung menuju Ciawi. Di dalamnya Yanti dengan tenang mengemudikan mobil itu mengikuti jalan yang berkelok. Hendra yang duduk di bangku penumpang sebelah kiri sopir, semenjak berangkat selalu menatap pemandangan yang berkejaran dari jendela di sampingnya. Sejuknya udara dataran tinggi menerpa wajah mereka melalui jendela yang di biarkan terbuka sebagian. Namun sesekali Yanti meliriknya dengan tatapan ‘lain’.
“Ng…, ah nggak usah,”
“Gimana kalau minum aja. Mau, kan?”
“Ya, boleh,”
Tiba-tiba rasa pening menyerang kepala Hendra
“Aduh…, Yanti, kepalaku! Aduh…Kenapa nih?” tiba-tiba ia meringis, matanya mulai berkunang-kunang. Kepalanya mulai berat untuk ditegakkan. Rasa kantuk yang hebat menyerang tiba-tiba. Sensasi-sensasi alam maya mulai merasukinya dirinya, seakan melayang ke khayalan tanpa batas. “Yyyaan… Yyyaan…tiii…, ttoo..long aku Yan…” ucap Hendra lirih. Tangannya berusaha menggapai Yanti. Tetapi Yanti seakan tidak peduli. Ia malah tersenyum lebar, senyum kebahagiaan, senyum kemenangan.
“Sabar ya, sayang…! Sebentar lagi kita sampai…”
“Yyyan…tiii…, uuhh…agh… ” dan akhirnya Hendra terkulai lemas tak sadarkan diri akibat dua pil ‘penenang’ yang telah ditelannya bersama Cocacola yang sudah ia habiskan beberapa menit yang lalu.
Di sebuah jalan tak jauh dari perempatan Ciawi, mobil berbelok dan menuju sebuah vila mungil milik ayah Yanti. Vila itu jauh dari keramaian. Hanya dijaga oleh pak Ujang, seorang lelaki tua penduduk sekitar yang merangkap sebagai tukang kebun.
Tin…!Tin…! Tak lama kemudian, agak tergopoh-gopoh Pak Ujang berlari kecil keluar membukakan pintu gerbang. Lalu perlahan sedan mungil itu memasuki pelataran parkir yang tak terlalu besar. Setelah mobil terparkir, dengan cekatan Yanti keluar mobil, lalu berusaha memapah Hendra.
“Pak Ujang! Tolongin saya. Berat, nih!”
“Aduh, neng! Kenapa dia, neng?! Bawa aja ke dokter biar diobatin,”
“Tapi, neng?” agak ragu Pak Ujang menatap Hendra yang tak sadarkan diri.
“Aduh…! Pak Ujang ini, jangan ngomong aja. Bantuin dong!”
Sambil terseok-seok, mereka berdua memapah Hendra ke dalam lalu membaringkannya di kamar depan. Kamar yang biasa digunakan Yanti bila menginap.
Malam itu, Bulan berpaling di balik awan. Tak ada suara jangkrik berbunyi. Tak ada suara angin menyapu dedaunan. Tak ada suara katak sahut-menyahut. Dinding-dinding vila seakan diam membisu menatap geram nafsu anak manusia yang membabi-buta. Mereka meratap tapi tak mampu berkata atau mengisak. Kebisuan dalam pekatnya malam.